Tunisia-Mesir: “Masa Depan” Dunia Arab

Print Friendly, PDF & Email

Pendahuluan

AWAL tahun ini kita dikejutkan dengan gejolak yang terjadi di dunia Arab. Dimulai dengan “révolution de jasmin” – revolusi melati di Tunisia yang berpuncak pada jatuh dan kemudian larinya Presiden Tunisia Zine el-Abidine Ben Ali ke Arab Saudi, 14 Januari 2011.

Nama revolusi ini mengingatkan kita pada “révolutions colorées” – revolusi berwarna, yang terjadi di bekas negara-negara komunis. “Revolusi” ini, sebenarnya lebih merupakan kudeta ketimbang revolusi, dan ditengarai diarahkan dari jauh oleh Amerika Serikat. Untuk menghilangkan kesan asosiasi dengan revolusi berwarna, para aktivis gerakan di Tunisia lebih memilih menyebut diri mereka sebagai “révolte de Sidi Bouzid” – dalam bahasa perancis atau ثورة سيدي بوزيد dalam bahasa arab, yang dapat diartikan aksi dari Sidi Bouzid, wilayah di mana aksi pertama kali meletus pada 17 Desember 2010, pasca kematian bakar diri, Mohammed Bouazizi. Kepergian Ben Ali dari Tunisia, tidak menandakan berhentinya gerakan ini. Bahkan, gerakan ini seolah memberikan “efek domino” dan menular ke negara-negara Arab lainnya, dari Mesir, Aljazair, Libya, Yordania, Mauritania, Oman, Yaman, Arab Saudi, Libanon, Syria, Palestina, Maroko dan Sudan.

Dari serangkaian peristiwa ini, masa depan “dunia Arab” pasca revolusi-revolusi menjadi sangat menarik untuk dikaji. Untuk dapat menganalisa hal ini dengan baik, maka pemahaman akan konsep “masa depan” menjadi sangat penting untuk diketahui.

Untuk itu, kita berhutang kepada Jacques Derrida yang telah dengan apik menjelaskan konsep masa depan. Derrida, secara umum membedakan masa depan menjadi dua hal” “le future” dan “l’avenir.” Menurut Derrida, le future berarti esok, beberapa jam lagi, abad depan, akan menjadi; apa yang akan menjadi. Jadi, le future berupa program-program, dapat diperkirakan, terprediksi, preskripsi-preskripsi. Singkatnya, le future merupakan sesuatu yang terjadwal, dapat diramalkan. Sedangkan l’avenir, berasal dari kata à venir atau to come, akan datang, karena merujuk pada sesuatu atau seseorang yang datang, tak terduga, tak terjadwal. Menurut Derrida, l’avenir adalah masa depan sesungguhnya, kedatangan yang lain tanpa kita mampu menunggunya atau meramalkannya.

Le future: Takdir Kapitalisme

Saat kita berbicara le future atau masa depan yang dapat diramalkan dalam kasus ini, kita sebenarnya berbicara mengenai konteks-konteks maupun penyebab riil yang melatarbelakangi kemunculan aksi-aksi ini.

Untuk menganalisanya lebih jernih, di sini, mari kita bersama-sama menengok Tunisia di masa Ben Ali dan Mesir di masa Husni Mubarak sebelum kejatuhannya.

Tunisia di bawah Ben Ali, berdasarkan data dari laporan World Economic Forum (WEF) tahun 2009-2010, disebut sebagai negara paling kompetitif secara ekonomi di Afrika, urutan ke-40 dunia. Bahkan, jauh sebelum itu, pada 18 November 2008, Dominique Strauss-Kahn, Direktur IMF, tokoh Partai Sosialis Perancis, mengatakan bahwa Tunisia di bawah Ben Ali merupakan “exemple à suivre” – contoh yang patut ditiru, “un modèle économique” – sebuah model ekonomi.

Berdasarkan Index Failed States 2010 yang dikeluarkan Jurnal Foreign Policy – think-thank berbasis di Amerika Serikat, posisi Tunisia ada di urutan ke-121, dengan status “Borderline.” Posisi ini artinya lebih stabil dibandingkan Indonesia yang berada di urutan ke-62 dengan status “In Danger” dan China yang berada di urutan ke-57 dengan status “In Danger.” Dengan kata lain, menurut indeks ini, Indonesia dan China, lebih berpotensi menjadi negara gagal dibandingkan Tunisia. Dari sini, sebenarnya tidak perlu ada yang dikhawatirkan dari Tunisia, beda halnya dengan Indonesia yang oleh Forum Rektor Indonesia diingatkan sebagai “Menuju Negara Gagal.”

Sedangkan Mesir di bawah Mubarak, tercatat tingkat kompetitivitas ekonominya berada di bawah Tunisia, yakni di urutan ke-70 dunia. Begitu pula dari indeks negara gagal, Mesir berada di level yang sama mengkhawatirkannya dengan Indonesia dan China dengan status “In Danger” dan berada di urutan ke-43.

Yang menarik, Mesir di bawah Mubarak ternyata tidak terlalu mengkhawatirkan dibandingkan dengan Tunisia di bawah Ben Ali. Mengapa? Karena Mesir pada 2007, termasuk lima negara Afrika, bersama Aljazair, Afrika Selatan, Senegal dan Nigeria, yang diundang untuk bergabung dengan Group of Eight Industrialized Nations (G8). Husni Mubarak pun mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G8 pada tanggal 6-8 Juni 2007 di Heiligendamm, Jerman dan 8-10 Juli 2009 di L’Aquila, Italia. Mesir di bawah Mubarak pun dipastikan menjadi bagian dari G14 (G8 + 5 negara Afrika). Berdasarkan data Bank Dunia, Mesir merupakan negara Afrika dengan pendapatan nasional terbesar kedua setelah Afrika Selatan (satu-satunya negara Anggota G20 dari Afrika), dengan produk domestik bruto (PDB) sebesar 188.413 juta dollar Amerika Serikat, berada di urutan ke-42 dunia, dibandingkan Tunisia yang hanya memiliki PDB sebesar 39.561 juta dollar Amerika Serikat, atau hanya seperlima dari PDB Mesir, dan berada di urutan ke-78 dunia.

Jika melihat fakta-fakta ini, mengapa rezim polisi (bukan militer) Ben Ali bisa jatuh? Begitu pula, mengapa rezim yang dipimpin seorang “Pahlawan perang” Israel-Mesir tahun 1973 dan disanjung oleh Obama pada tahun 2009 sebagai mitra kerja dalam menciptakan perdamaian dan demokrasi di kawasan, bisa terguncang demikian hebatnya?

Kisah ini tak terlepas dari sosok Mohammed Bouazizi dari Sidi Bouzid, anak buruh tani, yang berdagang buah dan sayuran sebagai satu-satunya cara untuk menafkahi keluarganya. Gara-gara tidak memiliki izin, bolak-balik barang dagangannya disita aparat kota Sidi Bouzid. Berulang kali pula dia membela diri dan mengupayakan untuk mendapatkan izin dan pengembalian barang yang disita. Tapi ijin tak keluar, dia malah justru dilecehkan dan dikejar-kejar. Pada 17 Desember 2010, di usianya yang ke-26, dalam keadaan depresi, dia membakar dirinya di depan kantor Gubernur. Tanggal 4 Januari 2011, nyawanya pun tak tertolong. Bouazizi lantas menjadi sosok yang dilukiskan oleh filosof Sidney Hook sebagai “eventful leader,” di mana kisah tragisnya, kemudian, diikuti oleh Houcine Neji yang bunuh diri meloncat ke tiang pemancang listrik tegangan tinggi dan Lotsi Guadri yang bunuh diri dengan menenggelamkan diri ke dalam sumur. Setelah itu, dalam kurun waktu 10 hari, tiga anak muda Tunisia lainnya, mencoba bunuh diri, karena frustasi oleh kesulitan hidup di negara di mana lowongan pekerjaan profesional sangat langka.

Tragedi bunuh diri ini bagaikan pemantik nyala api gerakan anti rejim berkuasa. Gerakan-gerakan turun ke jalan pun semakin meluas, dimulai dari para mahasiswa yang khawatir sekaligus frustasi akan masa depannya, karena tak memiliki pengalaman sekaligus tawaran kerja profesional. Berdasarkan penelitian Carnegie Moyen Orient, jumlah penganggur terbesar adalah para anak muda bergelar sarjana. Secara statistik, dari 13,3 persen populasi, 21,1 persen merupakan anak muda lulusan perguruan tinggi yang tak memiliki pekerjaan. Menurut Taoufik Djebali, profesor sosiologi di Université de Caen, “Sebelum naiknya Ben Ali ke tampuk kekuasaan di tahun 1987, jumlah sarjana sangatlah terbatas. Kemudian Ben Ali melakukan reformasi universitas, di mana saat ini begitu mudah mendapatkan gelar atau ijazah. Hasilnya, meskipun Tunisia dipuja-puja dalam pembangunan ekonominya, para anak mudanya banyak yang menjadi pengangguran. Ijazah di Tunisia pun tidak sinonim dengan kenaikan kelas sosial.”

Tingginya tingkat pengangguran ini pun diperparah dengan krisis pangan di Tunisia, di mana harga pangan naik 20-30 persen pada minggu pertama Januari 2011. Jelas kondisi ini sangat mencekik rakyat Tunisia dan seolah-olah hanya menghadapkan dua pilihan kepada mereka: bunuh diri atau kelaparan kemudian mati. Dari sini, rakyat yang turun ke jalan pun menyuarakan secara serius turunnya harga bahan pokok.

Demonstrasi serupa juga terjadi di Mesir pada 25 Januari 2011, yang dikenal dengan Hari Kemarahan, yang bertepatan dengan Hari Kepolisian Nasional. Di hari pertama demonstrasi ini,  para demonstran menyoroti pengangguran dan krisis pangan.

Sesungguhnya krisis ini bukanlah gara-gara musim tanam yang buruk seperti yang diberitakan. Krisis ini adalah akibat buruk dari akumulasi kapital melalui pengambilalihan hak milik dan/atau hak penguasaan atas tanah atau basis produktif masyarakat ke tangan para oligopol kapitalis. Situasi ini, seperti digambarkan Karl Marx, kemiskinan/pemiskinan di satu pihak demi menciptakan kekayaan di lain pihak. Dengan demikian, krisis ini adalah hasil dari keinginan para oligopol kapitalis dalam konteks imperialisme kolektif agar monopoli akses atas kekayaan alam, produk pertanian maupun pangan dunia terjamin, tak peduli apakah produk pertanian atau pangan itu langka atau tidak. Pemborosan makanan di satu sisi dan ketiadaan pangan di lain sisi, sekali lagi, tidak menjadi masalah selama para oligopol kapitalis ini bisa meraup keuntungan.

Perlahan tapi pasti, sistem pemerintahan yang terbentuk  menjadi ploutocratie – plutokrasi – pemerintahan di tangan orang-orang kaya. Para orang kaya inilah yang kemudian berkuasa, dan mereka yang berkuasa ini terus memperbesar jumlah kekayaannya untuk melanggengkan kekuasaan, baik itu secara legal maupun korupsi. Hasilnya keluarga Ben Ali bisa memiliki kekayaan sekitar 5 milliar dollar Amerika Serikat, setelah berkuasa selama 23 tahun. Dengan menjadi komprador, keluarga besar Ben Ali dan Trabelsi diperkirakan menguasai sekitar 30 persen dan 40 persen ekonomi Tunisia atau setara dengan 10 milliar dollar Amerika Serikat, bahkan hampir 10 kali lipat lebih besar dibandingkan current account balance – saldo giro Tunisia yang bernilai negatif 1,711 milliar dollar Amerika Serikat.

Begitu pula yang terjadi di Mesir. Mubarak yang telah berkuasa selama 30 tahun dan yang kini dipaksa mundur oleh gerakan massa, diperkirakan memiliki kekayaan sekitar 40-70 milliar dollar Amerika Serikat. Keluarga Mubarak ditengarai menjadi komprador dalam bisnis persenjataan maupun perlengkapan perang, khususnya dalam kekuatan udara, dengan keuntungan 11 hingga 21 kali lebih besar dari saldo giro Mesir yang bernilai negatif 3,349 milliar dollar Amerika Serikat.

Sesungguhnya, sistem kapitalisme plutokratik dari para oligopol ini merupakan musuh dari demokrasi. Demokrasi di bawah rezim plutokrasi hanyalah demokrasi prosedural, di mana suara rakyat bisa dibeli, untuk memilih kapitalis plutokrat ini menjadi penguasa. Demokrasi, pemerintahan oleh dan dari rakyat pun kehilangan substansinya, karena hasil yang ada hanya menciptakan para pengambil kebijakan dan keputusan yang tidak pernah terkena dampak atas kebijakan dan keputusan yang dikeluarkan. Tidak ada lagi emansipasi hak maupun emansipasi antar manusia, yang ada hanyalah represi.

Rezim berkuasa hanya menunjukkan wajah Heroic Alpha Male Leadership yang lebih mengandalkan hard power, yang menebar ketakutan, menciptakan teror terhadap setiap oposan, hingga tak ada yang mampu menolak suara atau pandangannya. Kebebasan berpendapat dan/atau menyuarakan nasib sendiri bagi rakyat, menjadi tabu, bahkan terlarang sekaligus berbuah pemberangusan, penangkapan maupun pemenjaraan. Perlahan namun pasti, demokrasi berubah menjadi démocrature – diktatur yang berkamuflase dan demokrasi palsu.

Bahkan, awal gerakan di Mesir ini pun, sesungguhnya merupakan perlawanan atas démocrature Mubarak, yang disimbolkan dengan kematian secara mengenaskan Khaled Mohamed Said di Sidi Gaber, wilayah Alexandria, pada 6 Juni 2010 akibat siksaan yang dilakukan oleh kepolisian. Khaled adalah pengunggah video praktek korupsi di Kepolisian di Mesir di Youtube. Di dalam video ini, terdapat adegan di mana para polisi berbagi uang dan narkotika maupun obat terlarang.

Solidaritas terhadap Khaled Said pun menyebar luas melalui blog khusus We are all Khaled Said, yang didedikasikan khusus untuk menentang setiap bentuk penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi terhadap rakyat Mesir di negara mereka sendiri serta untuk melawan korupsi. Website itu pun tersebar luas dan cepat berkat jejaring sosial, Facebook dan Twitter, yang ditautkan di dalam website tersebut. Di kemudian hari, diketahui bahwa website dan group Facebook We are all Khaled Said ini dikelola dan ditulis oleh Wael Ghonim, karyawan Google di Uni Emirat Arab, yang sempat ditahan secara rahasia selama 12 hari oleh aparat keamanan dengan dalih mengganggu ketertiban umum dan meresahkan masyarakat Mesir melalui internet. Setelah bebas, Ghonim, kemudian disambut oleh para demonstran gerakan massa anti-Mubarak dan dianggap sebagai pahlawan.

Prinsip akumulasi keuntungan tanpa akhir dari keluarga oligopol kapitalis/penguasa Tunisia dan Mesir ini, sama halnya dengan kanker, perlahan-lahan akan membawa kematian. Ketimpangan sosial, perbedaan kelas ekonomi dan démocrature pada akhirnya menciptakan sebuah krisis akut. Bukan krisis finansial ataupun krisis sistemik atau kepemimpinan, tetapi krisis kapitalisme. Dari isu penegakan demokrasi (diikuti kebebasan bersuara dan berpendapat) dan anti-korupsi, rakyat Tunisia dan Mesir pun menyuarakan kemuakan yang sama pada rezim, yang dikenal dengan istilah Kifaya yang berarti: Cukup!

Sebenarnya krisis kapitalisme di Tunisia maupun di Mesir dapat diduga sebelumnya, setidaknya dari saldo giro dari kedua negara ini yang menunjukkan angka negatif. Artinya, ekonomi kedua negara ini sesungguhnya sangat bergantung pada kapital luar negeri.

Berdasarkan data WTO terkini, partner dagang terbesar Tunisia adalah Uni Eropa. Tunisia merupakan negara Mediterania yang pada Juli 1995 menandatangani kesepakatan perdagangan bebas dengan Uni Eropa, yang dikenal dengan Euromed Association Agreements,  dan berlaku efektif sejak Maret 1998. Berkat perdagangan bebas ini, Tunisia dapat mengirimkan 73,8% ekspornya ke Uni Eropa atau setara dengan 10,66 milliar dollar Amerika Serikat, dan sebaliknya, Uni Eropa mendapat keuntungan ekspor dengan Tunisia sebesar 11,993 milliar dollar Amerika Serikat atau setara dengan 62,5% total impor Tunisia. Dari neraca perdagangan Tunisia-Uni Eropa ini, Tunisia sesungguhnya mengalami defisit 1,275 milliar dollar Amerika Serikat.

Begitu pula dengan Mesir yang juga berpartner dagang utama dengan Uni Eropa. Mesir menandatangani  Euromed Association Agreements pada Juni 2001 dan berlaku efektif sejak Juni 2004. Berkat perdagangan bebas ini, Mesir dapat mengirimkan 35,4% ekspornya ke Uni Eropa atau setara dengan 8,163 milliar dollar Amerika Serikat, dan sebaliknya, Uni Eropa mendapat keuntungan ekspor dengan Mesir sebesar 12,180 milliar dollar Amerika Serikat atau setara dengan 27,1% total impor Mesir. Dari neraca perdagangan Mesir-Uni Eropa ini, Mesir juga mengalami defisit 4,016 milliar dollar Amerika Serikat.

Kondisi perdagangan barang yang defisit ini semakin diperparah saat Uni Eropa dilanda krisis kapitalisme tahun 2008, yang berpengaruh pada menurunnya perdagangan jasa (berkurangnya jumlah turis maupun kunjungan dari Uni Eropa) ke kedua negara tersebut. Tercatat pada tahun 2009, Tunisia mengalami penurunan pemasukan sektor jasa sebesar 10%, sedangkan Mesir mengalami penurunan sebesar 14%.

Sampai di sini, prediksi keruntuhan rezim kapitalisme plutokratik di Tunisia dan Mesir menjadi sebuah keniscayaan, takdir yang tak bisa diubah.

L’avenir: Nasib (Re-)aliansi

Dari pemaparan di atas, kita dapat mengetahui bahwa rezim Ben Ali begitu pula Mubarak pastilah selesai. Namun yang belum dapat dipastikan adalah bagaimana aliansi maupun realiansi dua negara Arab ini dan negara-negara Arab lainnya, pasca selesainya rezim kapitalisme plutokratik ini. Di sini lah, kita berbicara mengenai l’avenir. Sebagaimana yang dikatakan oleh Derrida, l’avenir bergantung pada orang atau pihak lain (l’autre) yang datang tanpa bisa diduga maupun ditunggu.

Sekarang mari kita analisa siapakah pihak selain rezim Ben Ali dan Mubarak. Pihak lain itu bisa meliputi : kekuatan oposisi lokal dan negara lain serta posisi militer (yang acap kali memiliki pandangan berbeda di era penghujung rezim). Namun, kali ini kita hanya menganalisa lebih dalam komposisi dan peran oposisi lokal yang ada dalam revolusi-revolusi ini.

Seperti yang kita bahas sebelumnya, rezim kapitalis plutokratik dalam sistem pemerintahan yang démocrature menjadikan oposisi sebagai sesuatu yang tabu dan terlarang. Mereka yang oposan akan diperlakukan tidak baik, direpresi dan dihabisi.

Hal itu pula yang kita lihat di Tunisia di bawah Ben Ali dan Partai Rassemblement Constitutionnel Démocratique (RCD) – sebagai partai berkuasa. Ben Ali tidak hanya menahan sekitar 1800 orang sebagai tahanan politik, tapi juga melarang dan menyatakan ilegal beberapa partai politik oposan. Di samping partai politik yang terlarang itu, terdapat pula partai politik oposisi yang memiliki kursi di parlemen maupun partai legal lainnya namun tidak memiliki kursi di parlemen.

Sesungguhnya, jika kita mencermati gerakan oposisi di Tunisia, mobilisasi protes-protes terhadap rezim Ben Ali sudah dimulai sejak 2004-2005. Gerakan massa ini tidak hanya dilakukan oleh para politisi di partai politik oposisi, tapi juga dilakukan oleh organisasi-organisasi profesional.

Para jurnalis membentuk Syndicat des journalistes tunisiens (SJT), atas inisiatif Lotfi Hajji, mantan redaktur koran mingguan berbahasa arab Réalités, sebagai reaksi terhadap Association des journalistes tunisiens (AJT) yang telah menjadi corong dan antek-antek rezim Ben Ali. SJT pun mengalami represi, 160 jurnalis anggotanya diburu polisi, dengan alasan demi keamanan negara.

Asosiasi advokat Tunisia, l’Ordre des avocats, pun juga turut ambil bagian, saat pemerintah sebelumnya mengintervensi dan membatalkan hasil pemilihan ketua Asosiasi (bâtonnier) pada Juni  2004, karena sang ketua terpilih, Abdessatar Ben Mousa – yang non partisan-  dianggap sebagai musuh negara. Abdessatar sebelumnya dikenal gigih membela Mohammed Abbou dan Faouzi Ben Mrad.

Mohammed Abbou adalah seorang advokat yang telah menulis kritik kebijakan pemerintah di koran harian Tunis News pada 28 Februari 2004, yang kemudian diculik atas nama ketertiban umum oleh Kepolisian pada malam hari 1 Maret 2004. Sedangkan Faouzi Ben Mrad adalah pengacara Mohammed Abbou yang kemudian ditangkap setelah perkataannya bahwa penjara di Tunisia mirip penjara Abou Gharib, dimuat di Tunis News pada 2 Maret 2004. Sejak saat itu perlawanan para advokat progresif ini semakin keras dan membesar berhadap-hadapan dengan negara. Tak sedikit para advokat itu pun ditangkap, yang justru malah menambah semakin kerasnya perlawanan.

Benturan para advokat dengan rezim ini justru memberi inspirasi para sarjana hukum yang lain. Akhirnya untuk pertama kali pada era Ben Ali, asosiasi hakim Tunisia, l’Association des magistrats tunisiens (AMT) dengan tegas menyatakan diri berseberangan dengan kekuasaan pusat. Banyak para anggota AMT ini pun dipenjara. Para sarjana dan mahasiswa hukum yang sebelumnya aktif dalam Ligue tunisienne de défense des droits de l’Homme (LTDH) pun tak mau kalah. Mereka semakin keras menyuarakan perlawanan atas pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh rezim Ben Ali. Hingga akhirnya pada 7 September 2004, kantor-kantor LTDH di beberapa kota diserbu dan disegel polisi. Gerakan LTDH ini pun kemudian mendapat dukungan dari Institut arab des droits de l’Homme (IADH), sebuah NGO regional arab yang didanai oleh Centre des Nations-Unies pour les droits de l’Homme – Pusat HAM PBB dan l’Union des avocats arabes – asosiasi advokat negara-negara arab.

Gerakan protes atas rezim Ben Ali pun mengkristal dalam le Mouvement du 18 octobre 2005, di mana dua partai oposisi PDP dan FDTL, didukung oleh Amnesty International, dan Human Rights Watch International, menyerukan mogok makan nasional pada tanggal 18 Oktober 2005 saat Sommet mondial sur la société de l’information (SMSI) – KTT dunia masyarakat informasi, yang bagi banyak kalangan dianggap sebagi sebuah coup politique. Di lain pihak, beberapa partai oposisi beraliran komunis yang direpresi oleh rezim Ben Ali, seperti Ettajdid, PTPD, PCOT dan Communistes démocrates (CD), pun kemudian membentuk Coalition démocratique et progressiste – koalisi kaum demokrat dan progresif, dan menyatakan diri mendukung gerakan mogok makan nasional, setelah 48 jam ide ini dimunculkan oleh le Mouvement du 18 octobre 2005.

Kaum islamis, baik itu yang moderat seperti Ennadha yang dipimpin oleh Rached Ghannochi, Hizb ut-Tahrir, maupun yang radikal (termasuk di dalamnya para pelaku pengeboman synagogue El Ghriba pada 11 April 2002), sebagai oposisi yang sama-sama direpresi tanpa ampun oleh rezim Ben Ali, pun turut serta dalam gerakan besar berhadap-hadapan dengan rezim kapitalis plutokratik. Para oposisi sekaligus para korban represi penguasa ini pun bertemu pada satu titik gerakan, Ben Ali, Yezzi! – Ben Ali, Cukup!

Sebenarnya, melihat gerakan oposisi maupun komposisi aliran politik yang berada di balik tumbangnya rezim Ben Ali, tidak mampu memberikan jawaban pasti kepada kita tentang bagaimana sesungguhnya nasib Tunisia pasca Ben Ali. Di sini, kita masih bisa bertanya bagaimana koalisi besar antara faksi komunis dan islamis berjalan ke depan? Akankah terjadi benturan antara mereka? Benturan antara komunis dengan islamis, yang selama ini sering dianggap berseberangan, atau justru aliansi antara keduanya? Saat pembentukan pemerintahan Tunisia melalui pemilu, 60 hari pasca turunnya Ben Ali (menurut Konstitusi), siapakah yang akan memimpin? Akankah pemerintahan baru condong pada salah satu, komunis atau islamis? Bagaimana kalangan profesional/non ideologis menempatkan posisinya setelah ini? Sampai di sini, semuanya masih kabur. Yang terang hanyalah pemerintahan interim atau sementara yang telah menyatakan partai berkuasa di era Ben Ali, RCD, sebagai partai terlarang, dan sebaliknya melegalkan partai-partai politik yang dulunya terlarang. Sekali lagi, masa depan Tunisia untuk keluar dari kapitalisme yang menyebabkan krisis dan/atau sedang krisis masih belum dapat diprediksi.

Beralih ke Mesir, sebelum Mubarak turun dari jabatannya sebagai Presiden pada Jumat 11 Februari lalu, sebenarnya kita sudah bisa menduga bahwa rezim ini akan selesai, entah melalui gerakan massa ataupun pemilihan Presiden pada Agustus/September nanti.

Adapun mengenai oposisi, berbeda dengan Tunisia, Mesir dengan tegas melalui Undang-undang No. 40 tahun 1977 tentang Partai Politik, melarang partai politik yang berdasarkan agama. Atas dasar ini pula, gerakan politik berbasis keagamaan, khususnya Islam, seperti Ikhwanul Muslimin, mendapat tekanan yang sangat hebat. Rezim Mubarak pun menempatkan dan memberlakukan represi yang sama atas gerakan Kifaya yang dianggap satu lini dengan Ikhwanul Muslimin. Selain dua gerakan ini, Mesir pun mengenal al-Hizb al-Sheo’ey al-Masry atau Partai Komunis Mesir, sebuah partai yang dianggap terlarang dan direpresi tak kalah kejamnya oleh rezim Mubarak. Represi atas oposisi di Mesir menjadi semakin rumit, mengingat status Mesir yang dinyatakan darurat pasca Perang 6 Hari tahun 1967, memberikan kuasa mengerikan ke tangan ke kepolisian maupun rezim yang berkuasa untuk menghabisi mereka yang bersuara berbeda dengan kebijakan penguasa pusat, sebagai melawan ketertiban umum.

Jika perlawanan di Tunisia terlihat digerakkan oleh organisasi-organisasi profesional, maka perlawanan di Mesir sesungguhnya lebih radikal, karena digerakkan oleh kelas pekerja dan kaum muda yang sadar sekaligus tidak tahan terhadap represi yang dilakukan oleh rezim Mubarak. Jauh sebelum tanggal 25 Januari 2011, di mana rakyat Mesir yang menderita krisis pangan, tingkat pengangguran yang tinggi dan kronisnya korupsi, meneriakkan Hari Kemarahan, sesungguhnya perlawanan melawan rezim sudah dimulai dengan pemogokan dan blokade jalur kereta api seluruh Mesir oleh Serikat Buruh Kereta Api, pemogokan 24. 000 buruh pabrik tekstil terbesar di Mesir Al-Mahalla Al-Kubra dan pemogokan yang dilakukan 3000 buruh atau pekerja di Rumah Sakit Qasr al-Aini di Kairo.

Barulah pada Hari Kemarahan, demonstrasi massa yang disuarakan oleh serikat-serikat pekerja, tokoh-tokoh maupun organisasi oposisi, seperti dari Partai al-Wafd, Ikhwanul Muslimin, Kifayah, al-Hizb al-Sheo’ey al-Masry, Harakah Syabab 6 April (Gerakan Pemuda 6 April) Al-Jamyaa Al-Watanya Let-Taghyeer (Organisasi Nasional untuk Perubahan) yang dipimpin El-Baradei, yang juga diikuti dengan gerakan pembakaran-pembakaran kantor-kantor partai yang berkuasa Partai Nasional Demokrat (PND), kantor-kantor gubernur, kantor-kantor polisi di kota-kota di Mesir, seperti di Kairo (dipusatkan di Tahrir Square – Medan Merdeka), di Alexandria, di Port Said, dan sebagainya, membuat dunia internasional tercengang. Berita mengenai Hari Kemarahan ini pun tersebar bukan hanya melalui media-media nasional maupun internasional, tetapi juga melalui jejaring sosial media, seperti blog, Facebook maupun Twitter.

Namun, gerakan ini justru mendapatkan tanggapan yang berlebihan dari rezim Mubarak. Tak kurang dari 1000 orang ditahan, akses jejaring sosial media pun ditutup. Reaksi berlebihan dari pemerintah ini, justru semakin memperbesar gerakan oposisi, hingga akhirnya pada tanggal 27 Januari 2011, demonstrasi besar-besaran kedua, isunya pun beralih menjadi “Turunkan Mubarak!”.

Gerakan ini pun semakin membesar, tak dapat dihentikan dan menimbulkan gempa geopolitik cukup dahsyat di Mesir, antara lain Mubarak pada tanggal 29 Januari 2011, mengangkat Omar Suleiman, mantan Kepala Intelijen Mesir, sebagai Wakil Presiden (ini merupakan pertama kali sejak dia berkuasa). Pada 1 Februari 2011, Mubarak pun menyatakan tidak akan maju pada Pemilu September 2011. Para pengurus PND, yang dipimpin oleh Gamal Mubarak pada tanggal 5 Februari 2011, menyatakan mundur. Pada tanggal 6 Februari 2011, untuk pertama kalinya, para oposisi seperti Al-Jamyaa Al-Watanya Let-Taghyeer, gerakan Kifaya, partai liberal Wafd, partai kiri Tagammou, Gerakan Pemuda 6 April dan Ikhwanul Muslimin, diundang berdiskusi satu meja bersama Wakil Presiden untuk membicarakan kesepakatan melakukan reformasi konstitusi.

Yang menarik, hasil dari negosiasi antara kaum oposisi ini dengan Wakil Presiden, setidaknya lebih memperjelas l’avenir dari Mesir pasca Mubarak. Karena sebelumnya, nasib mobilisasi protes lebih tidak dapat ditentukan, karena tiadanya agenda yang jelas yang ditawarkan oleh organisasi-organisasi profesional maupun partai politik tentang Mesir Baru Pasca Mubarak dan ketiadaan pemimpin alternatif, mengingat para tokoh politik yang digadang-gadang untuk menggantikan Mubarak, seperti Omar Suleiman, Amr Mousa maupun El Baradei adalah tokoh-tokoh tua, yang usianya tak terpaut jauh dari Mubarak. Kini, para pihak yang turut berunding sepakat untuk membentuk sebuah komite yang dibentuk dari beberapa tokoh politik, untuk bersama-sama melakukan studi dan menawarkan amandemen konstitusi maupun perundang-undangan yang ada sebelum awal minggu bulan Maret 2011.

Namun dalam negosiasi tersebut, masih terjadi perdebatan sengit, khususnya antara Ikhwanul Muslimin dengan Wakil Presiden, berkaitan dengan akhir rezim Mubarak, pembentukan pementeritah transisi, hak untuk bersuara dan berpendapat di muka umum, serta jaminan keamanan atas anggota-anggota Ikhwanul Muslimin oleh pihak kepolisian. Pada pukul 11, pihak Ikhwanul Muslimin pun menghentikan diskusi dengan Wakil Presiden, sambil menegaskan, “Kami telah sepakat untuk mengikatkan diri dalam lingkaran dialog untuk mengevaluasi secara serius rezim berkuasa yang terkait dengan tuntutan rakyat dan keinginan rezim untuk menanggapi tuntutan tersebut”.

Banyak pihak sesungguhnya mengkhawatirkan sekaligus menyayangkan mengapa Wakil Presiden mengundang Ikhwanul Muslimin dalam negosiasi tersebut. Mereka beranggapan bahwa Ikhwanul Muslimin merupakan kelompok islamis-ekstrimis yang berbahaya dan berpotensi untuk menimbulkan ancaman atas perjanjian damai antara Mesir-Israel. Namun, Wakil Presiden menyampaikan alasan bahwa Ikhwanul Muslimin telah meninggalkan bertahun-tahun perjuangan bersenjata. Menurutnya, Ikhwanul Muslimin tidak dapat disamakan dengan gerakan-gerakan jihadis atau gerakan radikal seperti Hizbullah atau Hamas. Pendapat serupa juga disampaikan oleh Dominique Thomas, spesialis Perancis untuk dunia Arab dan islamisme, yang mengatakan bahwa, “Kemungkinan Ikhwanul Muslimin untuk menerapkan hukum syari’ah dan sekaligus memutuskan hubungan damai Israel-Mesir, bukanlah hal yang mudah, karena hal itu mensyaratkan sebuah transisi demokratik. Tentara Mesir pun tak akan membiarkan kesempatan itu terjadi dengan mudah. Ikhwanul Muslimin suka atau tidak suka harus berbagi dengan kekuatan politik yang lain, untuk menentukan masa depan Mesir. Karena inilah, bisa disimpulkan tidak ada ancaman islamis di Mesir.”

Puncak dari gempa geopolitik di Mesir adalah saat Omar Suleiman mengumumkan dari Istana Presiden pada 11 Februari 2011 pukul 18:00 waktu Kairo, bahwa Mubarak mengundurkan diri dan selanjutnya menyerahkan kekuasaannya kepada komando militer. Kemudian diberitakan bahwa Mubarak dan keluarganya meninggalkan Kairo menuju resort Sharm el-Sheikh di tepi Laut Merah.

Reaksi yang muncul pasca 11 Februari 2011 ini beragam. Jika El-Baradei menyatakan di media-media nasional maupun internasional bahwa kejadian ini merupakan momentum terindah dalam hidupnya karena “Egypt is free“, maka partai oposisi lain dan para serikat pekerja justru menyatakan bahwa, “Perjuangan belum usai”. Bahkan pemogokan di pabrik baja Helwan Steel Mills, pabrik gula El-Hawamdiya Sugar Factory, transportasi publik pun masih berlangsung.

Kondisi ini menimbulkan tanda tanya besar tentang bagaimana masa depan gerakan rakyat Mesir pasca lengsernya Mubarak, terlebih dengan tiadanya pengadilan bagi Mubarak yang telah melakukan kejahatan kemanusiaan semasa berkuasa maupun penyitaan atas harta kekayaannya yang patut diduga kuat didapat dari hasil korupsi. Begitu pula, seperti diketahui sebelumnya, bahwa kekuasaan negara di tangan militer, sesungguhnya tak ada bedanya dengan rezim Mubarak.

Pasca Mubarak ini pun, rakyat Mesir tak dapat mengandalkan kaum oposisi seperti Ikhwanul Muslimin yang mengusung slogan “Islam is solution” , yang sebenarnya tak lebih dari gerakan Islam politik. Islam politik merupakan musuh tanpa belas kasih dari gerakan pembebasan dan tak lebih hanya menciptakan sebuah teokrasi neoliberal.

Berbeda halnya dengan gerakan Teologi Pembebasan di Amerika Latin, Islam Politik tak pernah sedikit pun menawarkan sebuah kritik teologis maupun sosial. Gerakan ini tidak pula menawarkan analisis kritis atas sistem kelas dan lebih sibuk pada ideologi yang didasarkan kembali pada masa lalu, pada masa sebelum Islam tunduk pada kapitalisme dan imperialisme Barat. Karena itu pula, gerakan Islam Politik tak pernah menawarkan program-program yang terinci agar keluar dari sistem kapitalisme maupun imperialisme. Dalam kenyataan seperti ini, sering kali gerakan maupun rezim Islam Politik, justru memilih hidup harmoni dengan kapitalisme liberal dan memilih menjadi garda depan perdagangan bebas, seperti Arab Saudi yang secara ekonomi-politik sangat mesra dengan Amerika Serikat. Dari kenyataan ini pula, bukanlah suatu hal yang mengejutkan bila Obama mengundang Ikhwanul Muslimin hadir saat pidatonya di Kairo tahun 2009 dan menyuarakan hal yang sama dalam krisis politik Mesir ini.

Sama halnya dengan Tunisia, masa depan gerakan rakyat Mesir untuk keluar dari kapitalisme yang menyebabkan krisis dan/atau sedang krisis dan bukan hanya sekedar keluar dari krisis kapitalisme, masih belum dapat diprediksi dan masih harus tetap diperjuangkan.

Selanjutnya, kita pun masih belum dapat memastikan apakah gempa tektonik geopolitik yang terjadi di Tunisia maupun di Mesir ini akan membuahkan hasil yang sama di negara-negara Arab yang lain?

Namun untuk sementara patut diduga, bahwa gejolak dunia Arab ini terjadi sangat keras di lempeng tektonik geopolitik zona perdagangan bebas Euromed, sebagaimana yang dapat dijelaskan berikut ini:

Syria yang melakukan negosiasi inisial Euromed pada bulan Desember 2008, menghadapi saldo giro positif berhasil mengekspor 3,7 milliar dollar Amerika Serikat ke Uni Eropa dan begitu pula sebaliknya Uni Eropa pun berhasil mengekspor 4,075 milliar dollar Amerika Serikat. Artinya, dalam perdagangan ini Syria mengalami defisit sebanyak 375 juta dollar Amerika Serikat dan ini tidak bisa ditutup oleh saldo giro Syria yang hanya senilai 66 juta dollar Amerika Serikat.

Maroko yang menandatangani perjanjian perdagangan bebas Euromed pada bulan Februari 1996 dan memberlakukannya secara efektif sejak Maret 2000, memiliki saldo giro negatif sebesar 4,570 juta dollar Amerika Serikat. Nilai ekspor Maroko ke Uni Eropa sebesar 9,1 milliar dollar Amerika Serikat, sedangkan impor Maroko dari Uni Eropa sebesar 17,27 milliar dollar Amerika Serikat, atau artinya Maroko mengalami defisit perdagangan sebesar 8,17 milliar dollar Amerika Serikat.

Yordania yang menandatangani perjanjian Euromed pada bulan November 1997 dan memberlakukannya secara efekti sejak Mei 2002, mengalami saldo giro negatif sebesar 1,266 milliar dollar Amerika Serikat, dengan nilai ekspor ke Uni Eropa sebesar 254 juta dollar Amerika Serikat dan nilai impor dari Uni Eropa sebesar 3,054 milliar dollar Amerika Serikat, atau artinya Yordania mengalami defisit perdagangan dengan Uni Eropa sebesar 2,8 milliar dollar Amerika Serikat.

Libanon yang menandatangani perjanjian Euromed pada Juni 2002 dan memberlakukannya secara efektif bulan Maret 2003, mengalami saldo giro negatif sebesar 7,555 milliar dollar Amerika Serikat, dengan nilai ekspor ke Uni Eropa sebesar 544 juta dollar Amerika Serikat dan nilai impor dari Uni Eropa sebesar 6,348 milliar dollar Amerika Serikat, atau artinya Libanon mengalami defisit perdagangan dengan Uni Eropa sebesar 5,804 millliar dollar Amerika Serikat.

Di antara negara-negara yang berada di lempeng tektonik Euromed ini, hanya Aljazair yang telah menandatangani perjanjian perdagangan bebas Euromed pada bulan April 2002 dan memberlakukannya secara efektif sejak September 2005, yang memiliki saldo giro positif sebesar 9,78 milliar dollar Amerika Serikat, yang memiliki nilai ekspor ke Uni Eropa sebesar 23,185 milliar dollar Amerika Serikat dan nilai impor dari Uni Eropa sebesar 20,59 milliar dollar Amerika Serikat, atau artinya Aljazair mendapatkan surplus perdagangan dengan Uni Eropa sebesar 2,595 milliar dollar Amerika Serikat. Namun patut dicatat bahwa ekspor terbesar Aljazair berasal dari ekspor hasil tambang, khususnya minyak bumi, yang nilainya setara dengan 98,8% dari jumlah total keseluruhan nilai ekspor Aljazair ke seluruh dunia.

Selanjutnya, patut dicatat pula, walaupun Yaman tidak termasuk dalam negara-negara yang menandatangani perjanjian perdagangan bebas Euromed, namun juga mengalami saldo giro negatif sebesar 1,251 milliar dollar Amerika Serikat dan mengalami defisit perdagangan sebesar 2,906 milliar Amerika Serikat. Dari defisit yang terjadi, setidaknya diketahui berasal dari impor terbesar Yaman yang berasal dari Uni Eropa, yaitu sebesar 1,249 milliar dollar Amerika Serikat.

Sebaliknya, negara-negara Arab lainnya yang diberitakan mengalami gejolak seperti Mauritania, Oman, Saudi Arabia dan Libya namun tidak terlalu dahsyat seperti Tunisia dan Mesir, justru diketahui merupakan negara-negara yang tidak menandatangani perjanjian perdagangan bebas Euromed, dengan saldo giro positif dan surplus perdagangan. Negara-negara ini pula, diketahui lebih memilih negara-negara di Asia dan Afrika sebagai partner dagang utama mereka, antara lain China, Taiwan, Jepang, Thailand, India, Korea dan Uni Emirat Arab. Bahkan yang paling mencengangkan dari keempat negara tersebut adalah Libya (yang secara ofisial menyebut dirinya Al-Jamāhīriyyah al-ʿArabiyyah al-Lībiyyah aš-Šaʿbiyyah al-Ištirākiyyah al-ʿUẓmā atau Great Socialists People’s Libyan Arab Jamahiriya), negara yang mengembargo dirinya sendiri dan menasionalisasi semua perusahaan-perusahaan Amerika dan Inggris sejak revolusi 1969 yang dipimpin Khadafi itu, dan mampu memiliki saldo giro positif sebesar 35,702 milliar dollar Amerika Serikat dan surplus perdagangan sebesar 25,45 milliar dollar Amerika Serikat.

Dari sini, tampaknya hypothesis sekaligus solusi yang ditawarkan oleh Samir Amin dalam seminar mengenai krisis sistemik kapitalisme di Museo Reina Sofia di Madrid pada tanggal 19 Juni 2009, yaitu untuk “mengucapkan selamat tinggal pada ilusi kapitalisme dan selamat datang Bandung baru”, mendekati kenyataan dan kebenaran.

Namun sekali lagi, untuk menciptakan aliansi atau tepatnya realiansi Asia-Afrika seperti yang pernah disuarakan di Bandung, Indonesia tahun 1955, yang dilandasi semangat untuk menciptakan koeksistensi damai antar bangsa, pembebasan dari setiap hegemoni dan solidaritas terhadap tertindas, bukanlah suatu perjuangan yang mudah dan tanpa resiko, bahkan cenderung berbahaya karena mencoba melawan sistem imperialisme-kapitalisme.

Sampai di titik ini, ingatan kita pun kembali pada pesan Michel Foucault yang ditulisnya di tahun 1976 dalam “À propos de la généalogie de l’éthique“, bahwa “Tout est dangereux, ce qui n’est pas exactement la même chose que ce qui est mauvais. Si tout est dangereux, alors nous avons toujours quelque chose à faire.” – Semuanya berbahaya, tidak berarti sama dengan bahwa hal tersebut adalah buruk. Jika semuanya berbahaya, maka itu artinya kita memiliki sesuatu untuk dikerjakan. Dengan demikian, janganlah keadaan seperti ini menyebabkan kita putus asa, bahkan justru sebaliknya, membuat kita untuk semakin hyper-militan dalam kritik.

Mahmud Syaltout, PhD dalam International, European and Comparative Law, University of Paris 5

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.