Terorisme: Just War dan Propaganda Media

Print Friendly, PDF & Email

ANALISA EKONOMI POLITIK

SECARA luas media arus utama nasional dan internasional memberitakan penangkapan Abu Bakar Ba’asyir, amir Jama’ah Anshorut Tauhid (JAT) oleh Detasemen Khusus (Densus) 88. Di tengah citra polisi yang sangat buruk di mata khalayak ramai, penangkapan Ba’asyir ini mengundang beragam reaksi. Ba’asyir menuduh penangkapan dirinya merupakan order Amerika Serikat (AS). Sebagian menganggap penangkapan itu sebagai usaha polisi mengalihkan isu dari kasus korupsi yang memalukan di tubuh institusi itu.

Catatan ini tidak tentang kedua silang pendapat itu, tetapi tentang problem ‘perang melawan terorisme’ dari sisi teori ‘Just War’ dan propaganda media secara luas.

Just war

Perang adalah sesuatu yang salah, tetapi diperlukan. Begitu pengertian ringkas ‘Just War’, menurut Peter S. Temes, penulis buku ‘the Just War’. Berakar di ajaran agama-agama, teori modern-sekuler tentang ‘Just War”, menempatkan negara sebagai aktor dengan legitimasi memerintahkan dan melaksanakan perang. Adalah Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson, yang dalam Perang Dunia I, menyatakan kepentingan melindungi hak asasi manusia (HAM) dengan melakukan perang sebagai misi ideologisnya dalam skala global. Perang adalah sah dalam memerangi ‘musuh jahat’, pelanggar HAM.

Hampir seabad kemudian, apa yang dikenal ‘Doktrin Bush’ kurang lebih merupakan pengulangan Wilson. Di doktrin ini, AS menganggap punya tanggung jawab mengantisipasi dan melakukan serangan terhadap setiap ancaman di manapun di permukaan bumi dengan mengerahkan semua kekuataannya. Seperti punya otoritas melampaui PBB, AS secara sepihak dapat memberikan penilaian secara global tentang standar HAM. Berdasarkan itu, intervensi militer terhadap kedaulatan negara lain dapat dilakukan atau tidak. Invasi Iraq dan sekarang di Afghanistan adalah contohnya. Bahwa secara moral AS punya legitimasi menenentukan siapa ‘setan’ dan karenanya berwenang memerangi ‘setan-setan’ itu. Seperti mengklaim diri sebagai penentu nasib planet, Bush dalam sebuah pernyataan Februari 2002 menyatakan:

I have the authority to suspend Geneva (conventions) as between US and Afghanistan…. I reserve the right to exercise the authority in this or future conflicts.

Perang melawan terorisme yang diperkenalkan Bush dan terwarisi sampai sekarang, tidak lain adalah contoh ‘Just War’. Amerika yang menentukan siapa layak distempel dengan ‘teroris’ atau bukan, dan melalui kekuatannya memaksa semua negeri mengikuti langgam perang ini. Tidak peduli, semua yang diidentifikasi sebagai teroris atau mengancam kepentingan AS adalah mereka yang secara historis merupakan kawan AS sendiri. Kita tahu, Ayatollah Khomeini, Saddam Hussein, Muammar Khadafi, Manuel Ortega, dan Osama bin Laden adalah orang-orang yang dalam sejarahnya memiliki hubungan sangat dekat dengan AS dalam gerakan counterinsurgency. Tetapi, semuanya berubah mengikuti perubahan geopolitik.

Lantas, apa kepentingan AS di balik perang melawan terorisme?. Mungkin berguna meminjam David Harvey dalam ‘the New Imperialism’ yang menjelaskan hubungan dialektis antara kekuasaan negara dan empire [logic of power] dengan gerak molekular akumulasi kapital [logic of capital]. Baginya, penjelasan tentang imperialisme kapitalis bersandar kepada dialektika kedua logika ini. Invasi AS ke Iraq, bukan saja merupakan perang menaklukkan “setan politik” atas nama promosi demokrasi liberal, tetapi juga memaksakan liberalisme ekonomi menggantikan ‘setan ekonomi’ yang dipandang sarat korupsi dan tidak efisien. Perang menjadi alat kekuatan imperialis untuk memperluas kontrol atas kedaulatan negara lain dan menyatukannya ke dalam proses akumulasi kapital dalam skala luas.

Beda perlakuan terhadap regim seperti Saddam, di mana AS menerapkan cara-cara militer yang keras, maka terhadap negeri-negeri lain yang merupakan “anak-anak manis”, AS memaksakan “perang melawan terorisme” dengan cara lunak. Yakni, perang melalui bantuan kerja sama keamanan dan ekonomi. Indonesia adalah contoh penerapan “logic of power” dan “logic of capital” dengan kemasan tampak manis. Sejak kunjungan Presiden Megawati ke Washington menyusul serangan 9/11, pemerintah memperoleh bantuan di bidang keamanan, termasuk pembentukan Detasemen Khusus 88. Bantuan juga diembeli kerja sama ekonomi dan perdagangan antara kedua negara. Indonesia dianggap penting sejak AS mendeklarasikan Asia Tenggara sebagai serambi kedua (secod front) dalam perang ini. Model ini yang sebentar lagi akan dipakai di Iraq, menyusul rencana penarikan pasukan AS dari negeri itu dalam waktu dekat.

Hegemoni AS dalam perang melawan terorisme tidak saja dilakukan dengan mitra negeri-negeri secara individual. Tetapi juga melalui forum kerja sama regional di mana hegemoni negeri adidaya itu mutlak. ASEAN, misalnya, bersama AS pada tahun 2002 mengeluarkan deklarasi bersama memerangi terorisme. Contoh lain, forum Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC), di mana para pemimpinnya setelah serangan 9/11 dengan tegas menyatakan secara bersama bahwa terorisme sebagai ancaman langsung terhadap visi APEC, yakni ekonomi yang bebas dan terbuka (kapitalisme). Mereka menyatakan perang terhadap terorisme.

Propaganda

Pemberitaan soal perang melawan terorisme banyak jatuh menjadi propaganda. Kendati media arus utama mengklaim mengutamakan obyektivitas dengan bersandar kepada standar jurnalisme tertentu, tetapi kita dengan mudah bisa menunjuk kelemahan klaim tersebut, baik karena soal ideologi yang lebih abstrak, maupun soal yang lebih bersifat teknis jurnalistik.

Secara ideologi, dalam sistem kapitalisme, media tidak lain adalah superstruktur. Sebagai korporasi yang dimiliki dan dikontrol kaum kapitalis, bergantung kepada iklan sebagai sumber utama pembiayaan, dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari sistem korporasi secara keseluruhan, media arus utama oleh karena itu dapat bertahan jika hukum-hukum produksi dan sirkulasi kapital secara umum yang melingkupinya tidak terganggu. Mempromosikan pasar oleh karena itu bukan saja merupakan tugasnya, tetapi sekaligus bagian tidak terpisahkan dari media arus utama.

Dengan posisi ini, di dalam perang melawan terorisme, media menjadi bagian dari apa yang oleh Edward S. Herman & Gerry O. Sullivan sebut sebagai “industri terorisme”. Di buku ‘The Terrorism Industry: The experts and institutions that shape our view of terror’, keduanya menyatakan industri ini mengabdi kepada kepentingan pasar. Mereka bilang, industri ini melibatkan pemerintah, institusi-institusi keamanan, perusahaan-perusahaan swasta yang bergerak di bidang keamanan, para pakar atau analis keamanan, dan media massa.

Bagaimana industri ini bekerja, terutama berkenaan dengan media? Bagi Herman & Sullivan, salah satunya bisa dilihat dari pemberitaan tentang terorisme. Yang paling pokok, laporan-laporan mereka bersandar kepada sumber-sumber resmi pemerintah, terutama aparat keamanan (kepolisian, tentara, dan badan intelijen) yang memiliki kewenangan di bidang terorisme. Juga bergantung kepada sumber-sumber lain dari kecabangan pemerintah, seperti kejaksaan dan kehakiman. Lalu, media juga bergantung kepada para ‘pakar’ atau lembaga-lembaga pengkajian keamanan tertentu sebagai sumber informasi mereka. Para pakar dan lembaga keamanan ini selain menggantungkan sumber pembiayaan pada pemerintah atau korporasi swasta juga mengembangkan agenda/pendekatan riset sebagai bagian dari perang melawan terorisme.

Seperti dikatakan Herman & Sullivan lagi, pada umumnya para jurnalis mengakui bahwa pemerintah suka berbohong, tetapi atas nama ‘reasons of state’, maka kebohongan-kebohongan itu tetap saja disebarluaskan.

Itulah mengapa pemberitaan media soal terorisme berat sebelah. Khusus Indonesia, bagi yang teliti mengikuti perkembangan terorisme di tanah air dalam 10 tahun terakhir, dengan mudah melihat kecenderungan itu. Laporan-laporan media arus utama dijejali dengan informasi bersumber intelijen, Berita Acara Pemeriksaan (BAP) polisi, tuntutan-tuntutan jaksa, dan keputusan pengadilan, tanpa diimbangi investigasi mendalam dari sisi ‘teroris’, apalagi meletakkannya dalam konteks dinamika geopolitik. Kita juga bisa mendapatkan citra teroris dengan memeriksa pendapat redaksi, foto dan keterangan-keterangannya, serta karikatur-karikatur yang menghiasi pemberitaan media. Untuk melengkapinya, media juga menurunkan tulisan atau wawancara dengan ‘ahli teroris’. Di antara para ahli inilah, dari laporan-laporan dan buku-buku mereka tentang terorisme di Asia Tenggara dalam 10 tahun terakhir dipenuhi catatan kaki yang menunjuk ke sumber-sumber pemerintah atau dekat dengan pemerintah.

Ringkasnya, problem dengan media arus utama dalam pemberitaan terorisme bukan semata karena soal teknik jurnalistik, kendati juga perlu diperhatikan. Lebih dari itu sebagai bagian industri terorisme, sebagai pengabdi pasar, media arus utama sebenarnya merupakan bagian dari konflik geopolitik.

Penjelasan lain

Kita butuh penjelasan lain tentang terorisme yang lebih lengkap. Dasarnya, isu terorisme harus dikembalikan kepada soal geopolitik, di mana aksi-aksi teror yang dilakukan aktor-aktor non-negara perlu dijelaskan sebagai reaksi terhadap imperialisme. Di tengah tidak ada atau tidak mungkin sebuah negara dijadikan sebagai alat dalam menghadapi kekuatan imperialisme, maka aksi-aksi teror muncul sebagai saluran. Sejauh AS terus-menerus meluncurkan ‘Just War’, seperti dipusatkan di Afghanistan sekarang, maka ancaman terorisme akan selalu ada. Dengan kata lain, soal terorisme sangat ditentukan perilaku politik AS dalam pergaulan global.

Selain geopolitik global, aspek yang tidak kalah penting untuk dijelaskan adalah mengaitkannya dengan dinamika politik dan ekonomi nasional. Di luar itu, yang belum dilakukan adalah melacak asal-usul kelas para ‘teroris’, hingga latar belakang pendidikan mereka. Pelajaran berharga bisa dipetik dari Robert A. Pape dalam bukunya ‘Dying to Win: The Strategic logic of Suicide Terrorism’, yang menyajikan informasi kaya tentang para pelaku bom diri dalam masa sekitar 30 tahun terakhir, ditandai dengan: latar belakang agama yang sangat beragam, tidak semua bermotif agama tetapi juga soal politik sekuler, umumnya berasal dari kelas bawah dan menengah, dan dengan tingkat pendidikan relatif rendah. Hanya dengan cara begini kita bisa mengerti soal terorisme secara utuh.

Artinya, penjelasan terorisme berbasis pendekatan ‘tradisional’ dengan menganggap terorisme sebagai soal patologis, misalnya, dari penganut agama dalam menafsirkan ajaran-ajaran agama, tidak memadai, kalau tidak ingin bilang terlalu dangkal. Apalagi pendekatan itu hampir sepenuhnya bersandar kepada informasi yang dikeluarkan kantor-kantor pemerintah.***

Anto Sangaji
Mahasiswa Doktoral di York University, Kanada

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.