Transisi Kapital di Sulawesi Tengah (2)

Print Friendly, PDF & Email

Pengalaman Industri Perkebunan Kelapa Sawit

 

Akumulasi tanah

KOMODITISASI tanah yang semakin laju adalah dasar di mana perampasan tanah penduduk setempat untuk areal perkebunan kelapa sawit, menjadi kasus berulang yang umum terjadi di mana-mana. Proses ini dimulai dan didukung oleh pemerintah pada berbagai level dengan memberikan hak eksklusif kepada perusahaan-perusahaan perkebunan besar yang memerlukan lahan dalam jumlah luas, dengan mengabaikan klaim kepemilikan atas tanah yang beragam di tengah masyarakat pedesaan. Padahal, di atas tanah-tanah itu, warga telah menanaminya dengan padi sawah, padi ladang, tanaman palawija, dan berbagai tanaman perkebunan rakyat, khususnya kakao. Aparat pemerintah dari tingat desa sampai tingkat paling tinggi, termasuk aparat keamanan bersenjata, baik pada masa rejim Suharto maupun pemerintahan yang terbentuk sesudah reformasi, mengondisikan masyarakat dengan berbagai janji tentang kemajuan ekonomi, menipu, mengintimidasi, dan melakukan aneka tindak kekerasan kepada para petani, agar menyerahkan lahan-lahan pertanian milik mereka. Inilah proses paling awal dan kunci yang menentukan di mana kehadiran perusahaan-perusahaan perkebunan berskala besar, bukan saja menghancurkan sebuah ekonomi pertanian rakyat yang subsisten dan atau ekonomi pertanian kapitalis pedesaaan dengan input tehnologi dan tenaga kerja yang terbatas dan belum atau rendah tingkat komiditisasinya, tetapi juga memorak-porandakan kepemilikan alat produksi (tanah) kaum tani di pedesaan.

Sejak akhir 1980an, PT. TGK dan PT. HIP secara vulgar mengambil lahan-lahan pertanian petani setempat, mengakibatkan terjadinya konflik keras berlarut-larut. Dalam kasus PT. TGK, proses perampasan dimulai ketika setelah memperoleh Hak Guna Usaha (HGU), pada tahun 1988 perusahaan melakukan pembukaan lahan untuk pembibitan kelapa sawit seluas 30 hektar di areal perkebunan milik warga di dekat Sungai Lantolimbu Desa Emea. Warga yang mempertahankan lahan itu dengan memasang kawat duri tidak dapat berbuat apa-apa, ketika polisi dan tentara bersenjata menghancurkan pagar-pagar itu.

Proses pembukaan awal ini kemudian diresmikan oleh Bupati Poso saat itu, Letnan Kolonel Sugiono dan segenap anggota Muspida Kabupaten Poso. Setelah itu, terjadi penyerahan lahan-lahan pertanian (padi ladang, sawah dan aneka tanaman palawija) atau cadangan lahan pertanian, dan tempat penggembalaan ternak oleh belasan kepala desa kepada perusahaan untuk dijadikan sebagai kebun plasma dengan harapan, petani setempat diprioritaskan untuk menjadi petani plasma. Dalam catatan perusahaan jumlah lahan yang diserahkan oleh 15 desa mencapai 2.964.6 hektar, tetapi sebaliknya sebuah klaim dari penduduk setempat menyatakan bahwa luas lahan milik 5.000 KK dari masyarakat setempat yang diserahkan mencapai 7.000 hektar, di mana hutan sagu, bekas-bekas kebun yang sudah ditumbuhi hutan, dan tempat-tempat penggembalaan ternak juga dihitung sebagai bagian dari hak milik itu. Sebelumnya sebagian petani menolak menyerahkan lahan pertanian mereka tetapi kemudian mendapat intimidasi dari aparat keamanan, memperoleh tuduhan anti pembangunan dan dicap sebagai anggota PKI.

Apa yang terjadi kemudian adalah pemerintah dan PT. TGK memprioritaskan para transmigran, yang ditempatkan di wilayah itu dalam program PIR-Trans (1990 – 1992) sebanyak 1.214 KK, untuk dijadikan petani plasma. Keputusan rasial ini yang di kemudian hari memicu protes keras dari 11 kepala desa di wilayah itu di tahun 1990, yang kemudian disusul dengan berbagai aksi protes yang dilakukan oleh para petani dari desa-desa tersebut. Seperti yang sudah terjadi, ketika penyerahan kebun sawit kepada petani plasma, prioritas pertama memang diberikan kepada para transmigran sebanyak 2.133 KK di mana masing-masing KK memperoleh 2 hektar, termasuk di antaranya petani setempat yang mengikuti program transmigrasi sebagai transmigran sisipan, atau lazim dikenal transmigran alokasi penempatan penduduk daerah transmigrasi (APPDT). Sebagian warga setempat kemudian disertakan sebagai petani plasma, tetapi dengan hak milik hanya seluas 1 hektar kebun sawit, berdasarkan SK Bupati Poso No.188.45/4409/Disbun tertanggal 25 Oktober 1994 tentang penetapan jumlah petani peserta proyek PIR-Trans kelapa sawit yang berasal dari masyarakat setempat. SK ini menunjuk 1.110 KK yang berasal dari 15 desa, tetapi sampai dengan Februari 1999, jumlah petani setempat, di luar mereka yang mengikuti program transmigrasi, telah memperoleh masing-masing satu hektar kebun kelapa sawit berjumlah 1.482 KK berasal dari 15 desa itu. Sementara tuntutan warga yang pernah diperjuangkan oleh Forum Komunikasi Petani Plasma Kelapa Sawit (FK-PPKS) adalah keseluruhan warga, termasuk pecahan keluarga adalah 2 hektar untuk setiap KK. Mereka juga meminta para transmigran dipindahkan ke kebun inti perusahaan, bukan di tanah-tanah adat di mana areal perkebunan plasma berada. PT.TGK melaporkan bahwa hingga tahun 2003, luas lahan kebun plasma telah mencapai 5.423 hektar yang dimiliki oleh 4.556 kepala keluarga (Berita G, Juli, 2003), dari target 6.000 hektar yang sudah ditetapkan.

Apa yang terjadi dengan cerita ini adalah penyerahan tanah pertanian yang dilakukan secara paksa dan sukarela oleh sebagian warga setempat, yang kemudian kehilangan hak kepemilikannya atas tanah-tanah mereka yang selanjutnya jatuh ke tangan transmigran. Di Desa Solonsa, misalnya, dari sekitar 700 hektar lahan pertanian yang diserahkan untuk menjadi kebun plasma, sampai tahun 1998 ketika kebun kelapa sawit seluas 54 hektar yang sudah siap diserahkan kepada petani plasma maka sebagian besar di antaranya diserahkan kepada petani eks transmigrasi dari Desa Molores Kecamatana Petasia, yang umumnya adalah transmigran yang berasal dari Lombok dan Flores. Atau di Desa Ungkaya, dari 650 hektar lahan pertanian yang diserahkan, ketika terjadi penyerahan ke petani plasma kebun kelapa sawit seluas 130 hektar, maka sebagian besar yang memperolehnya adalah petani asal transmigrasi dari Bukit Harapan. Di luar itu, sejumlah pejabat pemerintah dan karyawan PT. TGK juga memperoleh kebun sawit di atas lahan-lahan yang telah diserahkan oleh warga. Praktik distribusi lahan-lahan kebun kelapa sawit semacam ini memicu ketidakpuasan yang meluas di kalangan petani asli pemilik tanah. Akibatnya hal ini memicu konflik yang terus memanas bertahun-tahun, yang kemudian di bawah fasilitasi pemerintah, perusahaan bersedia membayar ganti rugi tanah pada lahan-lahan pertanian warga yang telah ditanami kelapa sawit dengan nilai ganti rugi 1,8 miliar rupiah. Tetapi menurut warga janji ganti rugi tidak pernah terealisasi.

Berbeda dengan PT. TGK, PT HIP melakukan penanaman kelapa sawit secara sepihak di atas lahan-lahan pertanian dan potensi lahan pertanian yang diklaim secara adat sebagai milik penduduk setempat. Areal tanah milik mereka seperti pohon sagu, jenis tanaman yang secara tradisional merupakan sumber makanan pokok orang Buol, ladang dan bekas kebun, dan rawa-rawa yang diproyeksikan untuk percetakan sawah diklaim sebagai bagian dari HGU milik perusahaan untuk kemudian ditanami kelapa sawit. Pencaplokan lahan yang terjadi secara sepihak ini yang memicu konflik yang keras dengan petani setempat, yang kemudian mengorganisir diri dalam Forum Tani Buol (FTB) dan pada tahun 2000 melakukan pengambilalihan (reclaiming) lahan-lahan yang sudah ditanami kelapa sawit, untuk kemudian diganti dengan pohon kelapa dalam, kakao, padi, dan aneka tanaman pangan lainnya.

Praktik yang kurang lebih sama juga dilakukan PT. LTT, anak perusahaan dari AAL, di Kecamatan Rio Pekava, Kabupaten Donggala, wilayah perbatasan dengan propinsi Sulawesi Selatan (kini menjadi Sulawesi Barat). Tahun 2004, ketika hendak melakukan perluasan perkebunan, perusahaan bukan saja menanam sawit di kebun-kebun milik warga, tetapi juga didahului dengan perusakan kebun-kebun petani (terutama cokelat), baik petani asli maupun petani asal transmigrasi (penempatan 1991). Peristiwa perampasan ini berbuntut dengan aksi perampasan senjata api milik petugas Brimob oleh warga setempat yang sudah tidak tahan menghadapi teror dan intimidasi perusahaan yang menggunakan aparat keamanan maupun preman yang dimobilasi dari berbagai desa. Akibatnya tiga orang petani dijebloskan ke penjara selama 4 bulan dan Kepala Desa Minti Makmur menghilang dari desa meninggalkan anak-isterinya hingga hari ini. Tidak puas dengan itu, ketika lahan yang dirampas perusahaan ditetapkan sebagai ‘lahan sengketa’ oleh pemerintah, perusahaan terus melakukan teror dan intimidasi dengan menggunakan aparat kepolisian. Agustus 2005, anggota Brimob menjemput beberapa warga Desa Minti Makmur, membawa mereka ke kantor PT.LTT, kemudian memukul dan mengintimidasi mereka di sana. Di bulan yang sama, teror dengan cara lain juga dilakukan, di mana Kepolisian Resor Donggala menjadikan ‘lahan sengketa’ sebagai tempat latihan menembak untuk satuan pengamanan (Satpam) perusahaan.

Sementara sebuah komunitas penduduk asli setempat dari Suku Kaili-Tado tersingkir untuk yang kesekian kalinya. Klaim mereka atas tanah adat, dengan pohon sagu, bambu, dan pinang di dalamnya telah disulap menjadi bagian dari ‘lautan’ sawit milik PT. LTT. Dalam perkembangan terakhir, mereka telah angkat kaki dari pusat Desa Minti Makmur (eks transmigrasi) dan tinggal di perbukitan, mengikuti program TSM (transmigrasi swakarsa mandiri) dari Dinas Sosial yang terisolasi dari desa, sehingga anak-anak mereka kehilangan kesempatan untuk bersekolah. Penjualan tanah karena berbagai alasan kepada sesama penduduk desa, baik transmigran maupun migran dari Sulawesi Selatan, yang memiliki modal lebih kuat dan pengetahuan lebih maju dalam pertanian berbasis sawah dan kakao menjadi salah satu penyebab paling menonjol tersingkirnya kelompok ini dalam dinamika ekonomi di desa. Proses ini melahirkan ketimpangan dalam kepemilikan tanah di antara sesama warga desa sehingga melahirkan kecemburuan terhadap pendatang, sebuah masalah yang dalam belasan tahun terakhir pernah menjadi konflik dengan kekerasan di kawasan itu, ketika rumah dan kebun kakao milik petani Bugis dibakar dan dihancurkan oleh penduduk asli setempat, seperti yang pernah terjadi di Desa Watatu, pertengahan 1990an.

PT. AAL Tbk memang paling rajin dalam penyerobotan lahan pertanian milik petani di wilayah di mana konflik-konflik kekerasan yang mematikan bermasker suku dan agama pernah terjadi sejak 1998 (Aragon, 2001; McRae, 2008). Di Kecamatan Lembo Kabupaten Morowali, PT. Cipta Agro Nusantara (CAN), anak perusahaan dari AAL, yang mengantongi izin areal seluas 10.013,5 hektar, menggusur lahan pertanian yang sudah ditanami kakao, karet, vanili, durian, dan lahan-lahan lain yang sudah menjadi obyek pajak saat melakukan land clearing. Tindakan PT. CAN dilakukan sepihak tanpa perundingan dengan warga pemilik lahan dari suku Towatu, salah satu anak suku utama dari Tomori. Di Desa Petumbea, kedatangan perusahaan difasilitasi oleh kepala desa dan pengurus BPD yang membuat surat penyerahan tanah warganya secara diam-diam kepada perusahaan. Akibatnya, Januari 2008, warga dari Dusun I dari Desa tersebut yang tergabung dalam Forum Komunikasi Masyarakat mengadukan hal ini kepada Camat Lembo. Sementara di Desa Ronta, warga desa juga mengirim surat pengaduan kepada Camat Lembo karena perusahaan juga menggusur lahan pertanian yang telah ditanami jati, kelapa, karet, dan tanaman sagu. Seperti di Desa Petumbea, pemerintah Desa Ronta juga telah menerbitkan surat penyerahan lahan secara sepihak juga kepada perusahaan. Menyusul pengaduan-pengaduan tersebut Bupati Morowali kemudian menyurati PT. CAN untuk menghentikan kegiatan operasional di lapangan, tetapi fakta lapangan menunjukkan perusahaan sama sekali tidak mengindahkan surat tersebut. Akibatnya, Bupati kemudian mencabut izin lokasi perusahaan, tetapi sekali lagi perusahaan terus saja melakukan aktivitas di kedua desa, dengan melakukan penanaman kelapa sawit, pembibitan, pembangunan jalan kebun selebar 6 meter, dan aktivitas lainnya.

Di Kecamatan Petasia Kabupaten Morowali, PT. Agro Nusa Abadi (PT. ANA), salah satu anak perusahaan PT. AAL Tbk. kini sedang membuka kebun kelapa sawit seluas 19.675 hektar (HGU). Di Desa Molino, lautan kelapa sawit yang baru ditanami terpampang luas terlihat dari depan markas Kompi Senapan B/Yonif 714 Sintuwu Maroso, tangsi militer yang dibangun setelah serangkain serangan berdarah di Morowali paska perjanjian Malino. Di desa eks transmigrasi penempatan 1991 – 1992 sebanyak 604 KK (2.275 jiwa) ini, yang juga merupakan pusat kegiatan perusahaan perkebunan. Banyak keterangan warga bahwa sawit telah dan akan ditanami di kebun-kebun milik mereka. Kehadiran perusahaan juga memicu melonjaknya spekulasi tanah di desa-desa di kawasan itu. Beberapa kepala desa mengalihkan hak milik tanah dengan menerbitkan Surat Keterangan Kepemilikan Tanah (SKPT) di desa-desa mereka untuk diperjualbelikan. Langkah ini mengakibatkan terjadinya akumulasi kepemilikan tanah di tangan segelintir orang, yang bahkan berdatangan dari luar desa. Termasuk menurut sebuah sumber seorang Komandan Peleton (Danton) dari Kompi Senapan B/Yonif 714 Sintuwu Maroso menguasai tanah seluas 100 hektar yang akan ditanami kelapa sawit.

Sementara di Kecamatan Mori Atas Kabupaten Morowali yang berbatasan dengan Kecamatan Pamona Timur Kabupaten Poso, anak perusahaan lain dari PT. AAL Tbk., yakni PT. Rimbunan Alam Sentosa (RAS) telah memulai aktivitas perkebunan sawit di wilayah itu. Areal ini juga berdampingan dengan areal milik anak perusahaan PT. AAL Tbk. yang lain, PT. ANA, di Kecamatan Pamona Timur. Rencana perusahaan untuk mengeringkan rawa untuk kemudian ditanami sawit mendapat tentangan keras dari warga dan beberapa pemuka adat dari berbagai desa. Mereka berpegang pada janji Gubernur Sulawesi Tengah HB Paliuju bahwa rawa-rawa itu akan dikeringkan untuk percetakan sawah baru, sehingga merasa penting untuk melanjutkan rencana tersebut. Mereka menganggap kebutuhan lahan persawahan menjadi semakin penting mengingat jumlah penduduk semakin meningkat. Di Desa Taripa, Kecamatan Pamona Timur, misalnya, seorang pemuka adat di sana memperkirakan rata-rata setiap jiwa saat ini memiliki sawah seluas 17 are, sementara sebagian warga desa sudah kehilangan lahan persawahan, terutama karena jual-beli. Di Desa Olukumunde Kecamatan Pamona Timur, menurut seorang pemuka masyarakat di sana, rawa di sekitar desa sebelumnya telah dibagi-bagi seluas dua hektar perKK untuk percetakan sawah. Mereka juga peduli dengan sekitar 30 KK eks pengungsi kerusuhan Poso asal Tojo Unauna yang tinggal di desa itu, tetapi sejauh ini belum punya sawah. Apalagi sebagian rawa sejak 1990an telah dikeringkan untuk dijadikan sawah dan ditanami kakao. Di rawa itu pula, yang bersambungan dengan Danau Temui, menjadi sumber ikan bagi penduduk setempat di lembah dataran tinggi itu. Atas alasan-alasan itu, warga menolak konversi rawa menjadi kebun sawit. Saking kerasnya sikap penolakan, seorang tokoh adat setempat, Milton D. Pindongo, yang juga merangkap sebagai Ketua Pengurus Anak Cabang (PAC) Partai Demokrat Kecamatan Pamona Timur dicopot jabatannya oleh Bupati Poso, Piet Ingkiriwang, yang juga adalah Ketua Partai Demokrat Cabang Poso yang sangat berambisi men-sawit-kan Poso.

 

Penulis adalah mahasiswa doktoral antropologi di York University, Canada.

Tulisan ini dipresentasikan dalam diskusi dengan aktivis-aktivis tanah dan lingkungan Sulawesi Tengah, 28 Agustus 2009 di Palu. Tulisan ini merupakan sebagian catatan lapangan dari laporan penelitian yang masih dalam proses penulisan.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.